Minggu, 29 Juni 2014

proposal penelitian hama rayap

I.    PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budidaya kelapa sawit saat ini menghadapi masalah yaitu adanya gangguan hama dan penyakit. rayap merupakan salah satu hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan di areal peremajaan tanaman (replanting) dan pembukaan lahan perkebunan baru khususnya di areal lahan basah (gambut) (Pahan, I. 2012). Perkebunan kelapa sawit saat ini sedang banyak melakukan pembukaan lahan baru secara besar-besaran khususnya di Sumatra dan Kalimantan, yang didominasi lahan gambut dan mineral. di areal replanting kelapa sawit banyak tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan kondisi tersebut sangat disukai rayap dalam berkembang biakan koloninya.
Rayap Coptotermes curvignathus adalah hewan tanah yang peranannya besar dalam proses dekomposisi material organik tanah dan mendekomposisi kayu yang mati maupun yang masih hidup. namun rayap juga dapat merugikan, karena serangga ini ada yang menyerang tanaman, perabotan terutema yang terbuat dari kayu dan buku-buku atau bahan-bahan lain yang mengandung bahan selulosa. Selain itu bila bahan atau kayu yang mati sukar diperoleh, maka rayap akan menyerang tanaman dan bila tanaman yang terserang mempunyai arti penting, rayap tersebut dikategorikan sebagai hama (Bakti, dkk, 2005).
Rayap yang sering dijumpai di perkebunan kelapa sawit adalah rayap tanah, jenis rayap ini dominan menyerang tanaman kelapa sawit, mulai dari pembibitan, tanaman belum menghasilkan (TBM), sampai  tanaman menghasilkan (TM) Bagian utama yang diserang oleh rayap tanah, dari akar, batang, sampai ke titik tumbuh tanaman kelapa sawit (pupus). (Nandika, dkk, 2003).  
Serangan rayap C. curvignathus pada tanaman di lapangan  merupakan salah satu kendala utama yang perlu ditanggulangi. Hama ini dapat menimbulkan kerusakan fisik secara langsung pada tanaman dan menyebabkan terjadinya penurunan hasil, sehingga menimbulkan kerugian ekonomis yang cukup besar. hal ini disebabkan rayap dapat menyerang akar dan batang tanaman   sehingga translokasi air dan zat hara dari tanah terganggu dan akhirnya tanaman mati (Nandika, dkk, 2003).
Rayap tanah memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan menyebabkan penyebaran rayap ini sangat luas, apabila tidak dikendalikan rayap ini akan menyerang seluruh tanaman, sehingga akibat yang ditimbulkan sangat besar, menyebabkan kerusakan fisik secara langsung dan penurunan produksi pada tanaman kelapa sawit, sehingga dampak kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat besar (Nandika, dkk, 2002)
Rayap C. curvignathus sulit dikendalikan karena sering berada didalam tanah dan pada sisa-sisa kayu yang menjadi makanan, tempat persembunyian serta tempat perkembangbiakannya. Persentase serangan rayap pada tanaman kelapa sawit mencapai 10,8 %, pada tanaman karet yang mencapai 7,4 %, pada tanaman sengon mencapai 7,46 %. Di Indonesia kerugian yang disebabkan oleh rayap tiap tahun tercatat sekitar Rp. 224 miliar - Rp. 238 miliar (Prasetiyo dan Yusuf, 2004).
Sampai saat ini, pengendalian serangan rayap skala lapangan sebagian besar memakai bahan kimia yang sangat beracun dan tidak ramah lingkungan. Metode pengendalian rayap lainnya adalah secara biologi. cara ini memanfaatkan nematoda, bakteri, dan jamur yang diumpankan kepada rayap sehingga akan mengganggu sistem pencernaan rayap (Prasetiyo dan Yusuf, 2004).
 B.Tujuan penelitian
Untuk mengetahui efektivitas insektisida hayati dengan menggunakan jamur Metharihizium anisopliae, Beauveria bassiana dan Steinernema carpocapsae . dan bahan insektisida kimia menggunakan, insektisida fipronil, Klopirifos dan insektisida botanik, menggunakan Azadirachtin, dalam mengendalikan  hama rayap.
C. Manfaat penelitian
1.         Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi masalah rayap di perkebunan kelapa sawit.
2.         Mengetahui bahan yang paling efektif untuk pengendalian rayap  di perkebunan kelapa sawit.
3.         Memberikan solusi alternatif dalam pengendalian rayap di perkebunan kelapa sawit.


II.    TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelapa Sawit ( Elaeis guineensis Jacq  )
Kelapa sawit merupakan tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh di daerah yang terletak yang terletak antara 12˚ LU dan 12˚ LS. Curah  hujan optimal yang dibutuhkan antara 2000 -2500 mm/tahun dengan penyebaran yang merata sepanjang tahun. Lama penyinaran matahari  yang optimum antara 5-7 jam/hari, suhu optimum berkisar 24˚ -35˚ C, dan kelembapan optimum berkisar antara 80% -90%. Ketinggian tempat yang optimum berkisar 0-500 meter di atas permukaan laut (dpl). Sifat fisik tanah yang dibutuhkan adalah gembur, solum tebal, tanpa lapisan padas, topografi datar, dan drainasenya baik (Pahan, I. 2012).
Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera. Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak pertandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul persentase mesokrap perbutirnya dapat mencapai 90% dan kandungan minyak pertandannya dapat mencapai 28%. (Pahan, I. 2012)
Kelapa sawit termasuk tanaman berkeping satu, sistem perakarannya serabut. Akar paling aktif menyerap unsur hara adalah akar tertier dan kuarter yaitu berada pada kedalaman 0 – 60 cm dan jarak 2 -2,5 m dari pangkal pohon. Akar tanaman kelapa sawit menyebar secara horizontal dan vertikal mengikuti ukuran tanaman   (Pahan, I. 2012).
B.  Rayap
Rayap C. curvignathus adalah serangga sosial anggota bangsa Isoptera yang dikenal luas sebagai hama penting kehidupan manusia. rayap termasuk filum Arthropoda, kelas insekta yang berasal dari ordo Isoptera yang dalam perkembangan hidupnya mengalami metamorfosa (gradual). Pertumbuhan rayap melalui tiga tahap yaitu telur, nimfa, dan tahap dewasa. jumlah telur rayap bervariasi, tergantung kepada jenis dan umur rayap. Telur ratu rayap berbentuk silindris, bagian ujung telur bulat, berwarna putih, dengan panjang telur 05-1 mm. Telur akan menetas setelah berumur 8-11 hari, telur-telur yang menetas akan menjadi nimfa melalui 5-8 instar. (Nandika, dkk, 2003).
Rayap pada dasarnya adalah serangga daerah tropika dan subtropika. Namun sebarannya kini cenderung meluas ke daerah sedang (temperate) dengan batas-batas 50o LU dan LS. Di daerah tropika rayap ditemukan mulai dari pantai sampai ketinggian 3000 m di atas permukaan laut. Menurut. (Subekti, dkk, 2008). Beberapa faktor lingkungan telah berhasil di identifikasi dalam beberapa literature untuk rayap tanah seperti, memerlukan kelembaban yang tinggi dengan rentang perkembangan optimum RH : 75-90%, kisaran suhu 15 - 38o C, serta curah hujan yang tinggi (3000-4000 mm/thn). Ketiga faktor tersebut berpengaruh terutama pada perkembangan kasta reproduksi (laron) saat keluar dari sarang.
Sistematika hama rayap Coptotermes curvinagthus Holmgren menurut
(Nandika, dkk, 2003) adalah sebagai berikut : 
Kingdom          : Animalia 
Filum               : Arthropoda 
Kelas                : Insekta 
Ordo                 : Isoptera 
Famili              : Rhinotermitidae 
Genus               : Coptotermes 
Spesies            : Coptotermes curvinagthus Holmgren 
Telur rayap yang akan menetas menjadi nimfa mengalami perubahan 5-8 instar. Jumlah telur rayap bervariasi, tergantung kepada jenis dan umur. Saat pertama bertelur betina mengeluarkan 4-15 butir telur. Telur rayap berbentuk silindris, dengan bagian ujung yang membulat yang berwarna putih. Panjang telur bervariasi antara 1-1,5 mm. Telur Coptotermes curvignathus akan menetas setelah berumur 8-11 hari.  (Tarumingkeng, 2004)
Gambar 1: Telur Coptotermes curvignathus

Nimfa yang menetas dari telur pertama dari seluruh koloni yang baru akan berkembang menjadi kasta pekerja. Kasta pekerja jumlahnya jauh lebih besar dari seluruh kasta yang terdapat dalam koloni rayap. Waktu keseluruhan yang dibutuhkan dari keadaan telur sampai dapat bekerja secara efektif sebagai kasta pekerja pada umumnya adalah 6-7 bulan. Umur kasta pekerja dapat mencapai 19-24 bulan. Nimfa muda akan mengalami pergantian kulit sebanyak 8 kali, sampai kemudian berkembang menjadi kasta pekerja, prajurit dan calon laron  (Nandika, dkk, 2003 )  
                         Gambar  2 : Siklus Nimfa rayap
                                 https://www.google.co.id/search?q=gambar+rayap

Rayap C. curvignathus adalah serangga sosial yang hidup dalam koloni. Dalam satu koloni rayap C. curvignathus dapat dijumpai kasta reproduktif, kasta pekerja dan kasta prajurit ( Nandika, dkk, 2003 ).
a.    Kasta Rayap                                                                                      
Masyarakat rayap terdiri atas kelompok  yang disebut kasta. Masing – masing kasta mempunyai tugas spesifik yang dilakukan dengan tekun selama hidup mereka, demi untuk kepentingan kesehjateraan, keamanan dan kelansungan hidup seluruh masyarakatnya (Nandika, dkk, 2003).   
Kasta Reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu rayap betina (yang abdomennya biasanya sangat membesar) yang tugasnya hanya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina ( Nandika, dkk, 2003 ).
Betina dapat menghasikan ribuan telur, dan sperma dapat disimpan oleh betina dalam kantong khusus untuk itu, sehingga mungkin sekali tak diperlukan kopulasi berulang-ulang. Jika koloni rayap masih relatif muda biasanya kasta reproduktif berukuran besar sehingga disebut ratu. Biasanya ratu dan raja adalah individu pertama pendiri koloni, yaitu sepasang laron yang mulai menjalin kehidupan bersama sejak penerbangan alata. ( Nandika, dkk, 2003 ).
          
Gambar 3 : Rayap Kasta Reproduktif

Kasta prajurit berwarna putih, kepalanya besar berwarna coklat. Panjang tubuhnya 5,0 -5,3 mm, lebar kepalanya 1,4 – 1,5 dan panjang mandibelnya ± 0,9 mm. Pada bagian dorsal kepalanya terdapat kelenjar frontal untuk mengeluarkan cairan berwarna putih pada waktu koloninya mendapat gangguan musuhnya
( Nandika, dkk, 2003 ).
         
Gambar. 4 : Rayap Kasta Prajurit
Kasta prajurit memiliki bentuk tubuh yang kekar karena penebalan (sklerotisasi) kulitnya agar mampu melawan musuh untuk mempertahankan kelangsungan hidup koloninya. mereka berjalan hilir mudik di antara para pekerja yang sibuk mencari dan mengangkut makanan. setiap ada gangguan dapat diteruskan melalui suara tertentu sehingga prajurit-prajurit bergegas menuju ke sumber gangguan dan berusaha mengatasinya. Prajurit rayap biasanya dilengkapi dengan mandibel (rahang) yang berbentuk gunting sebagai penjepit musuhnya. (Nandika, dkk, 2003).
Sebagian besar koloni rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni merupakan individu – individu pekerja. Kasta pekerja terdiri dari nimfa dan dewasa yang steril, memiliki warna yang pucat dan mengalami penebalan di bagian kutikula, tanpa sayap dan biasanya tidak memiliki mata, memiliki mandible yang relative kecil. Kasta pekerja memiliki warna tubuh warna putih, panjang tubuhnya 4,5 – 5,0 mm dan lebar kepalanya 1,4 – 1,5 mm (Nandika, dkk, 2003). 
Gambar 5 : Rayap Kasta Pekerja
b.   Perilaku Rayap  
Rayap berperilaku kriptobiotik atau sifat selalu menyembunyikan diri, mereka hidup di dalam tanah dan bila akan invasi mencari objek makanan juga menerobos di bagian dalam, dan bila terpaksa harus berjalan di permukaan yang terbuka mereka membentuk pipa pelindung dari bahan atau humus (Tarumingkeng, 2004).
Sifat trofalaksis merupakan ciri khas diantara individu-individu dalam koloni rayap. Masing-masing individu sering mengadakan hubungan dalam bentuk menjilat, mencium dan menggosokkan tubuhnya satu dengan yang lainnya. Sifat ini diinterpretasikan sebagai cara untuk memperoleh protozoa flagellata bagi individu yang baru saja berganti kulit, karena pada saat berganti kulit usus juga tanggap, sehingga protozoa simbion yang diperlukan untuk mencerna selulosa ikut keluar dan diperlukan reinfeksi dengan jalan trofalaksis. Sifat ini juga diperlukan agar terdapat pertukaran feromon diantara para individu (Tarumingkeng, 2004).   
Setiap koloni rayap mengembangkan karakteristik tersendiri berupa bau yang khas untuk membedakannya dengan koloni yang lain. Rayap dapat menemukan sumber makanan karena mereka mampu untuk menerima dan menafsirkan setiap rangsangan bau yang esensial bagi kehidupannya. Bau yang dapat dideteksi rayap berhubungan dengan sifat kimiawi feromonnya sendiri (Tarumingkeng, 2004)
Sifat kanibal terutama menonjol pada keadaan yang sulit misalnya kekurangan air dan makanan, sehingga hanya individu yang kuat saja yang dipertahankan, yaitu dengan membunuh serta memakan rayap-rayap yang tidak produktif lagi baik reproduktif, prajurit maupun kasta pekerja. Kanibalisme berfungsi untuk mempertahankan prinsip efisiensi dan konservasi energi, dan berperan dalam pengaturan homoestatika (keseimbangan kehidupan) koloni rayap (Tarumingkeng, 2004).
Rayap pekerja menggerek dan memakan pangkal pelepah, jaringan batang, akar dan pangkal akar, daun serta titik tumbuh tanaman kelapa sawit. Serangan berat dapat menyebabkan kematian bibit maupun tanaman dewasa di lapangan. menyebabkan kerusakan fisik secara langsung dan penurunan produksi pada tanaman kelapa sawit, sehingga dampak kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat besar (Nandika, dkk, 2003)
C. Insektisida hayati
Pengendalian hayati adalah pengendalian semua makhluk hidup yang dianggap sebagai OPT dengan cara memanfaatkan musuh alami, memanipulasi  inang, lingkungan atau musuh alami itu sendiri. Pengendalian hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien dengan sedikit mungkin mendatangkan akibat samping negatif bagi lingkungan hidup. Sedangkan berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan menjaga upaya agar tidak merosot atau menjaga agar suatu upaya terus berlangsung. Pengendalian hayati sebagai komponen pengendalian hama terpadu sejalan dengan definisi sebagai cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan berkelanjutan. Dengan pengertian ini, konsepsi PHT sejalan dengan paradigma pembangunan agribisnis (Suniarsyih, 2009).
Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya beresiko kecil, tidak mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan dan tidak memerlukan banyak input luar. Pengendalian ini secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi kehidupan organisme penyebab penyakit atau mengganggu siklus hidupnya (Suwahyono, U., 2009).
a. Jamur  Metarhizium anisopliae
M. anisopliae yang sebelumnya dikenal sebagai Anisopliae entomophora, yang hidup di tanah. Penggunaan M. anisopliae sebagai agen mikroba terhadap serangga (Suwahyono, U., 2009).
M. anisopliae adalah anggota dari kelas Hyphomycetes dengan kategori jamur muscaridine hijau karena warna hijau muncul dari koloni. Jamur ini telah dilaporkan telah menginfeksi sekitar 200 jenis serangga dan arthropoda lainnya. Meskipun M. anisopliae tidak menular atau beracun untuk mamalia, namun jika menghirup spora dari jamur tersebut dapat menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sensitif (Suwahyono, U., 2009).
Penggunaan M. anisopliae sebagai agen hayati merupakan jenis pestisida microbial (microbia pestiside), yaitu jenis produk biopestisida yang mengandung mikroorganisme (bakteri, fungi, virus, dan protozoa) sebagai bahan aktif dan jamur yang digunakan sebagai pengendalian serangga pada tanaman disebut bioinsektisida (Suwahyono, U., 2009).
Kelebihan dari penggunaan bioinsektisida dari fungi. Secara umum M. anisopliae masuk ke tubuh serangga melalui spirakel dan pori-pori atau kutikula dari tubuh serangga. Setelah masuk ke dalam tubuh serangga, jamur berkembang biak menghasilkan pemanjangan hifa yang akhirnya berkembang biak dan mengkonsumsi organ internal serangga. Pertumbuhan hifa berlanjut sampai serangga tersebut ditumbuhi dengan miselia. Selanjutnya jamur akan membuat serangga tampak seperti diselimuti bulu halus berwarna putih (Suwahyono, U., 2009).   
M. anisopliae dapat melepaskan spora (konidia) pada kondisi kelembaban rendah (<50%). Selain itu, jamur tersebut memperoleh nutrisi dari lemak pada kutikula serangga. Jamur ini juga dapat menghasilkan metabolit sekunder seperti destruxin, yang mempunyai sifat insektisida pada serangga (Suwahyono, U., 2009).  Zat metabolit sekunder dari fungi inilah sebagai pengendalian serangga. Penggunaan entomopatogen dari jamur adalah sebagai biopestisida dalam bidang pertanian.
b.   Jamur Beauveria bassiana
B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselium dan konidium (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Soetopo dan Indrayani, 2007).
Hifa atau spora B. bassiana ke dalam kutikula melalui kulit luar serangga. Pertumbuhan hifa akan mengeluarkan enzim seperti protease, lipolitik, amilase, dan kitinase. Enzim-enzim tersebut mampu menghidrolisis kompleks protein di dalam integumen yang menyerang dan menghancurkan kutikula, sehingga hifa tersebut mampu menembus dan masuk serta berkembang di dalam tubuh serangga.  Mekanisme infeksi secara mekanik adalah infeksi melalui tekanan yang disebabkan oleh konidium B. bassiana yang tumbuh. Secara mekanik infeksi jamur B. bassiana berawal dari penetrasi miselium pada kutikula lalu berkecambah dan membentuk apresorium, kemudian menyerang epidermis dan hipodermis. Hifa kemudian menyerang jaringan dan hifa berkembang biak di dalam haemolymph (http://link.springer.com/article#page-1)
 Pada perkembangannya di dalam tubuh serangga B. bassiana akan mengeluarkan racun yang disebut beauvericin yang menyebabkan terjadinya paralisis pada anggota tubuh serangga. Paralisis menyebabkan kehilangan koordinasi sistem gerak, sehingga gerakan serangga tidak teratur dan lama-kelamaan melemah, kemudian berhenti sama sekali. setelah lebih-kurang lima hari terjadi kelumpuhan total dan kematian. toksin juga menyebabkan kerusakan jaringan, terutama pada saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan system pernafasan (Wahyudi, P., 2008).
Jamur B. bassiana akan terus melanjutkan pertumbuhan siklusnya dalam fase saprofitik. Setelah serangga inang mati, B.bassiana akan mengeluarkan antibiotik, yaitu Oosporein yang menekan populasi bakteri dalam perut serangga inang. Dengan demikian, pada akhirnya seluruh tubuh serangga inang akan penuh oleh propagul B. bassiana. Pada bagian lunak dari tubuh serangga inang, jamur ini akan menembus keluar dan menampakkan pertumbuhan hifa di bagian luar tubuh serangga inang yang biasa disebut “white bloom”. Pertumbuhan hifa eksternal akan menghasilkan konidia yang bila telah masak akan disebarkan ke lingkungan dan menginfeksi serangga sasaran baru (Wahyudi, P., 2008).
c. Nematoda Steinernema sp
Nematoda Steinernema sp adalah agensia hayati yang dapat di manfaatkan sebagai salah satu alternatif pengendalian hama. Teknik pengendalian hama ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia, yaitu dengan memanfaatkannya sebagai bahan biopestisida. Nematoda entomopatogen Steinernema sp. termasuk famili Steinernematidae yang diketahui sangat potensial mengendalikan serangga hama. (Hidayat, R., 2012.)
Cara menginfeksi nematoda masuk kedalam tubuh serangga melalui lubang tubuh alami seperti spiracle, anus, atau termakan oleh larva serangga. Setelah berada di dalam tubuh larva, nematoda langsung melepaskan bakteri simbiosisnya kedalam usus larva serangga. Bakteri inilah yang membunuh larva dengan cara mengeluarkan zat yang bersifat antibiotik atau racun terhadap serangga. Dalam waktu 1 – 2 hari larva mati. Larva yang mati biasanya ditunjukkan dengan gejala yang khas tergantung warna permukaan tubuh serangga yang terserang nematoda ini menunjukkan gejala warna tubuh coklat kehitaman, tubuh lembek dan sedikit mengeluarkan cairan. Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk nematoda menghasilkan 2 - 3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan cara keluar dari tibuh larva dan mencari inang lain (Hidayat, R. 2012)  
D. Insektisida kimia
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang dimaksud hama bagi petani sangat luas yaitu : bakteria dan virus, nematoda (cacing yang merusak akar), serangga, siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Menurut peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 (Djojosumarto, 2008)
a.    Fipronil
 insektisida berbahan aktif fipronil yang merupakan famili yang dari golongan kimia phenilpyrazol, berbeda dengan insektisida di pasaran yang sebagian berasal dari keluarga senyawa piretroid sintetik, organofosfat, neonikitinoid, dan karbamat. Sistem kerja fipronil sangat unik, ia berfungsi kontak dan sistemik, yaitu memblokir jalannya ion klorida yang membawa asam gama-amino-butirik (GABA) ke sistem saraf pusat serangga. Pada tanaman padi, fipronil telah terbukti efektif dalam mengendalikan hama wereng coklat, walang sangit, dan penggerek batang. fipronil juga disarankan sebagai pengendali hama rayap tanah pada kelapa sawit dan karet, aplikasinya cukup dengan disiramkan pada permukaan tanah tempat rayap bersarang dengan dosis 2,5 – 5 ml/lt.
Disamping itu, beberapa keunggulan fipronil antara lain mempunyai fungsi sebagai zat pengatur tumbuh. Pengendali serangga berspektrum luas, fipronil dapat mengendalikan berbagai serangga pengganggu tanaman, Penanganan yang relatif mudah aplikasi menggunakan dosis yang relatif rendah, Dapat dicampur dengan pupuk, insektisida ataupun fungisida lain. (http://saranaagri.wordpres.com. 2012)
b.   Klopirifos
Klorpirifos adalah racun kontak dan lambung yang dapat diemulsikan untuk mengendalikan rayap kayu kering, serta rayap tanah. Dapat juga digunakan untuk mengawetkan kayu terutama menjaga kayu dari serangan rayap setelah direndam dengan larutan Klorpirifos. Cara aplikasinya dengan cara larutkan dengan air sesuai dengan dosis yang dianjurkan, lalu disemprotkan pada semua permukaan kayu sampai basah. Racun akan menyerap kedalam pori kayu dan apabila rayap memakannya, lalu membawanya kesarang untuk diolah menjadi makanan baik untuk ratu dan anak-anaknya. Namun bisa juga siramkan kebagian tengah-tengah rumah rayap. Biasanya setelah tiga hari rayap akan mati beserta ratunya, kalaupun datang koloni baru, koloni tersebut akan mati seperti pendahulunya karena daya racunnya dapat bertahan cukup lama. (http://www.indo-agrofog.com)
E.  Insektisida botanik
            Pestisida botanik adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida (Thamrin, dkk, 2005).
a.    Azadirachtin
Insektisida botani (Azadirachta indica A. Jussieu) berasal dari biji mimba yang diekstrak dari biji tanaman mimba (Azadirachta indica A. Jussieu). Senyawa toksik yang dikandung biji mimba diketahui efektif mengendalikan lebih dari 200 spesies serangga hama dan tidak menimbulkan resistensi (Ruskin, 1993)
Sasaran senyawa toksik tersebut terhadap serangga adalah pada glandula protorak yang menstimulasi sintesa protein, mencegah kehilangan air, meningkatkan atau mengurangi aktivitas, dan pengaturan dalam metamorfosa, khususnya ekdisis dan diapause. Senyawa toksiktersebut menganggu bekerjanya sel neurosekretori sehingga tidak dapat berfungsi secara sempurna, yang berakibat terganggunya semua aktivitas pertumbuhan serangga. Gangguan yang berat akan menyebabkan mortalitas, sedang gangguan yang ringan menyebabkan pertumbuhan terhambat.
Bagian tanaman mimba yang dapat digunakan sebagai pestisida botanik adalah daun dan bijinya. Ekstrak daun dan biji mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin dan Salanin senyawa tersebut bersifat sebagai insektisida.
 Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ekdison, yaitu suatu hormon yang berfungsi dalam proses metamorfosa serangga. Serangga akan terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur menjadi larva, atau dari larva menjadi kepompong atau dari kepompong menjadi dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian (Ruskin, 1993).
Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti-feedant) yang mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun serangganya sendiri belum mati. penggunaan pestisida botani dari mimba, seringkali hamanya tidak mati seketika setelah disemprot, namun memerlukan beberapa hari untuk mati, biasanya 4-5 hari. Namun demikian, hama yang telah disemprot tersebut daya rusaknya sudah sangat menurun, karena dalam keadaan sakit (Ruskin, 1993).


III.  METODE PENELITIAN

A.  1. Tempat Dan Waktu Penelitian
 Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit (rakyat), yang terletak di jl. Sepat, Des. Muara Delang (spc), Kec. Tabir Selatan, Kab. Merangin, Jambi.
2. Penentuan lokasi
a.    Memilih lahan yang memiliki banyak sarang aktif hama rayap, dan tidak ada perlakuan pengedalian hama rayap dari kebun setidaknya 3 bulan terakir.
B.  Alat dan Bahan
1.   Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
              Alat yang digunkan penelitian adalah alat tulis, cangkul, dodos tanah, ember, gelas ukur, meteran, sarung tangan. 
2.   Bahan
a.    Jamur Metarhizium anisopliae, dengan dosis 200 g/1 rumah rayap.
b.   Jamur Beauveria bassiana, dengan dosis 200 g/1 rumah rayap.
c.    Nematoda Steinernema sp, nama dagang coleonema, dengan dosisis 20 juta nematoda/1 rumah rayap.
d.   Insektisida Fipronil, nama dagang REGENT 50 sc, dengan dosisis 5 ml/l rumah rayap.
e.    Insektisida Klorpirifos, nama dagang TERMIBAN 400 EC, dengan dosisis 12 ml/l rumah rayap.
f.    Azadirachtin, nama dagang NEEM OIL dengan dosisis 10 ml/l 1 rumah rayap.
C.  Metode Penelian
Metode Penelitian menggunakan rancangan percobaan, yang disusun dalam rancangan acak lengkap berblok (RCBD) terdiri dari 6 (enam) perlakuan dan tiap – tiap perlakuan di ulang 4 (empat) kali sehingga terdapat 24 unit perlakuan. Tiap-tiap unit perlakuan ditempatkan per sarangan hama rayap.
Perlakuan yang diberikan terhadap sarang rayap terdiri atas 6 jenis bahan.
1.      P1         = jamur Metarhizium anisopliae
2.      P2         = Jamur Beauveria bassiana
3.      P3         = Nematoda Steinernema sp
4.      P4         = Insektisida Fipronil
5.      P5         = Insektisida Klorpirifos
6.      P6         = Azadirachtin
    Tabel : Matriks perlakuan
PERLAKUAN

ULANGAN


U1
U2
U3
U4
P1
P1U1
P1U2
P1U3
P1U4
P2
P2U1
P2U2
P2U3
P2U4
P3
P3U1
P3U2
P3U3
P3U4
P4
P4U1
P4U2
P4U3
P4U4
P5
P5U1
P5U2
P5U3
P5U4
P6
P6U1
P6U2
P6U3
P6U4
Keterangan: Matriks perlakuan yang dilaksanakan dalam penelitian.
Tahap awal menentukan tempat/blok yang disinyalir banyak hama rayap. Tahap selanjutnya menentukan lokasi percobaan, dengan menentukan blok perlakuan berdasarkan kesergaman tinggi rumah rayap, katagori blok berdasarkan tinggi yaitu U1 tinngi < 30 cm , U2 tinggi < 40 cm, U3 tinggi <50 cm, U4 tinggi > 60. Setelah keseragaman blok tersedia, satu blok terdapat
6 perlakuan bahan, maka perblok dilakuakan pengacakan perlakuan, sehingga masing-masing perlakuan mendapat kesempatan tempat rumah rayap yang sama untuk aplikasi bahan.
Metode aplikasi bahan dengan cara bagian rumah rayap dilubangi, besar pelubangan menyesuaikan genggaman tangan, bertujan agar memudahkan aplikasi bahan. pelubangan pada rumah rayap 10 cm dari permukaan tanah ke atas, dan pelubangan sampai ke dalam bagian dari rumah rayap, cara aplikasi bahan masukkan bahan kelubang sampai ketengah rumah rayap, untuk aplikasi bahan yang bersifat cair langsung disiramkan ketengah rumah rayap, dan bahan yang bersifat butir langsung ditaburkan didalam rumah rayap.
D. Pengamatan
     Pengamatan dilakukan terhadap efektifitas berbagai bahan yang di aplikasikan untuk mengendalikan hama rayap.
a.    Pengamatan dilakukan pada hari ke 5 setelah aplikasi, dan pengamatan berikutnya 4 hari sekali.
b.   Mengamati aktifitas makan hama rayap sebelum dan setelah aplikasi bahan.
c.    Mengamati hama rayap yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi.
E.  Parameter Pengamatan
a.    Pengukuran rumah rayap.
                                    Pengukuran rumah rayap dapat dilakukan awal penelitian hama rayap, cara pengukuran rumah rayap menggunakan meteran dengan mengukur besar dan tinggi rumah rayap.

                    Tabel : pengukuran rumah hama rayap
Perlakuan
UI
UII
UIII
UIV
DRR
TRR
DRR
TRR
DRR
TRR
DRR
TRR
P1








P2








P3








P4








P5








P6









Keterangan :
UI-UIV              : Ulangan perlakuan
P1-P6                 : Perlakuan
DRR                   : Diameter rumah rayap
TRR                   : Tinggi rumah rayap
b.   Pengamatan aktifitas makan hama rayap.
                                   Pengamatan aktifitas makan rayap dilakukan dengan cara dengan mengukur bagian umpan yang telah dimakan oleh rayap, umpan rayap dapat menggunakan bahan yang mengandung solulosa, seprti kayu, kertas, rempahan gregaji, pada penelitian ini menggunakan koran, tahap pertama ukur koran sebelum di jadikan umpan, dan ukur kembali setelah di jadikan umpan, pemberian umpan sebelum dan sesudah aplikasi bahan, sehingga diketahui pebedaan aktifitas makan rayap sesudah dan sebelum aplikasi bahan, pengamatan dilakukan 3 hari setelah aplikasi bahan, sebanyak 4 kali ulangan.



         Tabel : pengamatan aktifitas makan rayap
Perlakuan
Ulangan 1
3h
6h
9h
11h
BAB
SAB
BAB
SAB
BAB
SAB
BAB
SAB
P1








P2








P3








P4








P5








P6









         Kterangan :
         PI-P6                  : Perlakuan
         3h-11h                : Jenjang pengamatan
         BAB                   : Belum aplikasi bahan
         SAB                   : setelah aplikasi bahan
c.    Pengamatan hama rayap yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi.
                                   Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil sempel hama rayap secara acak di bagian bawah, tengah, dan atas didalam rumah rayap, masing-masing diambil 100 hama rayap, setelah sempel masing-masing bagian tersedia, dilakuakan pengamatan hama rayap yang terinfeksi atau sakit, mati dan sehat. Pengamatan dilakukan 5 hari setelah aplikasi, dan pengamatan berikutnya pada hari ke 9, 13 dan hari ke 17 setelah aplikasi.
                    Tabel : pengamatan hama rayap terinfeksi dan yang tidak terinfeksi
Perlakuan
5h SA
9h SA
13h SA
17h SA
SE
SA
MA
SE
SA
MA
SE
SA
MA
SE
SA
MA
P1












P2












P3












P4












P5












P6












         Keterangan :
P1-P6                 : Perlakuan                                         
5h SA                : 5 hari setelah aplikasi                       
9h SA                 : 9 hari setelah aplikasi
13h SA              : 13 hari setelah aplikasi
17h SA               : 17 hari setelah aplikasi
         SE                       : Sehat
        SA                       : Sakit
        MA                      : Mati
d.   Pengamatan kondisi ratu/kasta reproduktif
             Pengamatan ratu rayap dilakukan pada akhir penelitian guna melihat kodisi ratu rayap, apakah masih sehat, sakit atau mati, pengamatan ratu rayap dapat dilakukan dengan membongkar rumah rayap, sehinnga dapat melakukan pengamatan kondisi ratu atau kasta reproduktif rayap.
Tabel : pengamatan kondisi ratu rayap
Perlakuan
UI
UII
UIII
UIV
SE
SA
MA
SE
SA
MA
SE
SA
MA
SE
SA
MA
P1












P2












P3












P4












P5












P6













Keterangan :
PI-P6                  : Perlakuan
UI-UIV              : Ulangan
SE                      : Sehat
SA                      : Sakit
MA                     : Mati
F.   Analisis Data
      Jumlah rayap yang terinfeksi dihitung 4 hari sekali/perlakuan, lalu data yang terkumpul pada masing-masing perlakuan dijumlahkan dan dicari rata-ratanya. Hasil rata-rata yang sudah didapat dari setiap aspek pengamatan kemudian di lakukan analisis varian (Annova)  dan dilanjutkan uji Duncan pada jenjang α 5%.