I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budidaya kelapa
sawit saat ini menghadapi masalah yaitu adanya gangguan hama dan penyakit. rayap merupakan salah
satu hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan di areal
peremajaan tanaman (replanting) dan pembukaan lahan perkebunan baru khususnya
di areal lahan basah (gambut) (Pahan, I. 2012).
Perkebunan kelapa sawit saat ini sedang banyak
melakukan pembukaan lahan baru secara besar-besaran khususnya di Sumatra dan
Kalimantan, yang
didominasi lahan gambut dan mineral. di areal replanting kelapa sawit banyak
tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan kondisi tersebut sangat disukai rayap dalam berkembang
biakan koloninya.
Rayap Coptotermes
curvignathus adalah hewan tanah yang peranannya besar dalam proses
dekomposisi material organik tanah dan mendekomposisi kayu yang mati maupun yang masih hidup. namun rayap juga dapat merugikan, karena serangga ini ada yang
menyerang tanaman, perabotan
terutema yang terbuat dari kayu dan buku-buku
atau bahan-bahan lain yang mengandung bahan selulosa. Selain itu bila bahan
atau kayu yang mati sukar diperoleh, maka rayap akan menyerang tanaman dan bila
tanaman yang terserang mempunyai arti penting, rayap tersebut dikategorikan sebagai
hama (Bakti,
dkk, 2005).
Rayap
yang sering dijumpai di perkebunan kelapa sawit adalah rayap tanah, jenis rayap ini dominan
menyerang tanaman kelapa sawit, mulai dari pembibitan, tanaman belum
menghasilkan (TBM), sampai tanaman
menghasilkan (TM) Bagian utama yang diserang oleh rayap tanah, dari akar,
batang, sampai ke titik tumbuh tanaman kelapa sawit (pupus). (Nandika, dkk, 2003).
Serangan rayap C. curvignathus pada
tanaman di lapangan merupakan salah satu
kendala utama yang perlu ditanggulangi. Hama ini dapat menimbulkan kerusakan
fisik secara langsung pada tanaman dan menyebabkan terjadinya penurunan hasil,
sehingga menimbulkan kerugian ekonomis yang cukup besar. hal
ini disebabkan rayap dapat menyerang akar dan batang tanaman sehingga translokasi air dan zat hara dari tanah
terganggu dan akhirnya tanaman mati (Nandika, dkk, 2003).
Rayap tanah memiliki
kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan menyebabkan penyebaran
rayap ini sangat luas, apabila tidak dikendalikan rayap ini akan menyerang
seluruh tanaman, sehingga akibat yang ditimbulkan sangat besar, menyebabkan
kerusakan fisik secara langsung dan penurunan produksi pada tanaman kelapa
sawit, sehingga dampak kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat besar (Nandika, dkk, 2002)
Rayap C. curvignathus sulit
dikendalikan karena sering berada didalam tanah dan pada sisa-sisa kayu yang
menjadi makanan, tempat persembunyian serta tempat perkembangbiakannya.
Persentase serangan rayap pada tanaman kelapa sawit mencapai 10,8 %, pada
tanaman karet yang mencapai 7,4 %, pada tanaman sengon mencapai 7,46 %. Di
Indonesia kerugian yang disebabkan oleh rayap tiap tahun tercatat sekitar Rp.
224 miliar - Rp. 238 miliar (Prasetiyo dan
Yusuf, 2004).
Sampai saat ini,
pengendalian serangan rayap skala lapangan sebagian besar memakai bahan kimia
yang sangat beracun dan tidak ramah lingkungan. Metode pengendalian rayap
lainnya adalah secara biologi. cara ini memanfaatkan nematoda, bakteri, dan jamur yang diumpankan
kepada rayap sehingga akan mengganggu sistem pencernaan rayap (Prasetiyo dan Yusuf, 2004).
B.Tujuan penelitian
Untuk mengetahui efektivitas insektisida hayati dengan menggunakan jamur Metharihizium
anisopliae, Beauveria bassiana dan Steinernema carpocapsae . dan
bahan insektisida kimia menggunakan, insektisida fipronil, Klopirifos
dan insektisida botanik, menggunakan Azadirachtin, dalam mengendalikan
hama rayap.
C.
Manfaat
penelitian
1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
alternatif dalam mengatasi masalah rayap di perkebunan kelapa
sawit.
2.
Mengetahui bahan yang paling efektif untuk pengendalian rayap di perkebunan kelapa sawit.
3.
Memberikan solusi
alternatif dalam pengendalian rayap di perkebunan kelapa sawit.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Kelapa Sawit ( Elaeis guineensis Jacq )
Kelapa sawit merupakan tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh
di daerah yang terletak yang terletak antara 12˚ LU dan 12˚ LS. Curah hujan optimal yang dibutuhkan antara 2000
-2500 mm/tahun dengan penyebaran yang merata sepanjang tahun. Lama penyinaran
matahari yang optimum antara 5-7
jam/hari, suhu optimum berkisar 24˚ -35˚ C, dan kelembapan optimum berkisar
antara 80% -90%. Ketinggian tempat yang optimum berkisar 0-500 meter di atas permukaan laut (dpl). Sifat fisik tanah
yang dibutuhkan adalah gembur, solum tebal, tanpa lapisan padas, topografi datar, dan drainasenya baik (Pahan,
I. 2012).
Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya
kelapa sawit dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera. Dura merupakan sawit
yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin
pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak
pertandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga
betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah
persilangan antara induk Dura dan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul
sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah
tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul persentase mesokrap
perbutirnya dapat mencapai 90% dan kandungan minyak pertandannya dapat mencapai
28%. (Pahan, I. 2012)
Kelapa sawit
termasuk tanaman berkeping satu, sistem perakarannya serabut. Akar paling aktif menyerap unsur
hara adalah akar tertier dan kuarter yaitu berada pada kedalaman 0 – 60 cm dan
jarak 2 -2,5 m dari pangkal pohon. Akar tanaman kelapa sawit menyebar secara
horizontal dan vertikal mengikuti ukuran tanaman (Pahan, I. 2012).
B.
Rayap
Rayap C. curvignathus adalah serangga sosial
anggota bangsa
Isoptera yang dikenal luas
sebagai hama
penting kehidupan manusia.
rayap termasuk filum Arthropoda, kelas insekta
yang berasal dari ordo Isoptera
yang dalam perkembangan
hidupnya mengalami metamorfosa (gradual). Pertumbuhan
rayap melalui tiga tahap yaitu telur, nimfa, dan tahap dewasa. jumlah
telur rayap bervariasi, tergantung kepada jenis dan umur rayap. Telur ratu
rayap berbentuk silindris, bagian ujung telur bulat, berwarna putih, dengan panjang telur 05-1
mm.
Telur akan
menetas setelah berumur 8-11 hari, telur-telur yang menetas akan
menjadi nimfa melalui 5-8 instar. (Nandika, dkk, 2003).
Rayap pada dasarnya adalah serangga
daerah tropika dan subtropika. Namun sebarannya kini cenderung meluas ke
daerah sedang (temperate) dengan batas-batas 50o LU dan LS. Di
daerah tropika rayap ditemukan mulai dari pantai sampai ketinggian 3000 m di
atas permukaan laut. Menurut. (Subekti, dkk, 2008). Beberapa faktor
lingkungan telah berhasil di identifikasi dalam beberapa literature untuk rayap
tanah seperti, memerlukan kelembaban yang tinggi dengan rentang perkembangan
optimum RH : 75-90%, kisaran suhu 15 - 38o C, serta curah hujan yang
tinggi (3000-4000 mm/thn). Ketiga faktor tersebut berpengaruh terutama pada
perkembangan kasta reproduksi (laron) saat keluar dari sarang.
Sistematika hama rayap Coptotermes
curvinagthus Holmgren
menurut
(Nandika,
dkk, 2003) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Isoptera
Famili : Rhinotermitidae
Genus :
Coptotermes
Spesies : Coptotermes curvinagthus Holmgren
Telur rayap yang akan menetas menjadi nimfa mengalami perubahan
5-8 instar. Jumlah telur rayap bervariasi, tergantung
kepada jenis dan umur. Saat pertama bertelur betina mengeluarkan
4-15 butir telur. Telur rayap berbentuk silindris, dengan
bagian ujung yang membulat yang berwarna putih. Panjang telur bervariasi antara
1-1,5 mm. Telur Coptotermes curvignathus akan menetas
setelah berumur 8-11 hari. (Tarumingkeng, 2004)
Gambar
1: Telur Coptotermes curvignathus
Nimfa yang menetas dari
telur pertama dari seluruh koloni yang baru akan berkembang menjadi kasta
pekerja. Kasta pekerja jumlahnya jauh lebih besar dari seluruh kasta yang
terdapat dalam koloni rayap. Waktu keseluruhan yang dibutuhkan dari keadaan
telur sampai dapat bekerja secara efektif sebagai kasta pekerja pada umumnya
adalah 6-7 bulan. Umur kasta pekerja dapat mencapai 19-24 bulan. Nimfa
muda akan mengalami pergantian kulit sebanyak 8 kali, sampai kemudian
berkembang menjadi kasta pekerja, prajurit dan calon laron (Nandika, dkk, 2003 )
Gambar 2 : Siklus Nimfa rayap
Rayap C. curvignathus adalah
serangga sosial yang hidup dalam koloni. Dalam satu koloni rayap C. curvignathus dapat
dijumpai kasta reproduktif, kasta pekerja dan kasta prajurit ( Nandika, dkk, 2003 ).
a. Kasta Rayap
Masyarakat rayap terdiri
atas kelompok yang disebut kasta. Masing
– masing kasta mempunyai tugas spesifik yang dilakukan
dengan tekun selama hidup mereka, demi untuk kepentingan kesehjateraan,
keamanan dan kelansungan hidup seluruh masyarakatnya (Nandika, dkk, 2003).
Kasta Reproduktif terdiri atas
individu-individu seksual yaitu rayap betina (yang abdomennya biasanya sangat membesar) yang tugasnya hanya bertelur dan jantan (raja)
yang tugasnya membuahi betina ( Nandika, dkk, 2003 ).
Betina dapat
menghasikan ribuan telur, dan sperma dapat disimpan oleh betina dalam kantong
khusus untuk itu, sehingga mungkin sekali tak diperlukan kopulasi
berulang-ulang. Jika koloni rayap masih relatif muda biasanya kasta reproduktif
berukuran besar sehingga disebut ratu. Biasanya ratu dan raja adalah individu
pertama pendiri koloni, yaitu sepasang laron yang mulai menjalin kehidupan
bersama sejak penerbangan alata. ( Nandika, dkk, 2003 ).
Gambar
3 : Rayap Kasta Reproduktif
Kasta prajurit berwarna
putih, kepalanya besar berwarna coklat. Panjang tubuhnya 5,0 -5,3 mm, lebar
kepalanya 1,4 – 1,5 dan panjang mandibelnya ± 0,9 mm. Pada bagian dorsal
kepalanya terdapat kelenjar frontal untuk mengeluarkan cairan berwarna putih
pada waktu koloninya mendapat gangguan musuhnya
( Nandika, dkk, 2003 ).
Gambar.
4 : Rayap Kasta Prajurit
Kasta prajurit memiliki
bentuk tubuh yang kekar karena penebalan (sklerotisasi) kulitnya agar mampu
melawan musuh untuk
mempertahankan kelangsungan hidup koloninya. mereka
berjalan hilir mudik di antara para pekerja yang sibuk mencari dan mengangkut
makanan. setiap ada gangguan dapat diteruskan melalui suara tertentu
sehingga prajurit-prajurit bergegas menuju ke sumber gangguan dan berusaha
mengatasinya. Prajurit rayap biasanya dilengkapi dengan mandibel (rahang) yang
berbentuk gunting sebagai penjepit musuhnya. (Nandika, dkk, 2003).
Sebagian besar koloni rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam
koloni merupakan individu – individu pekerja. Kasta pekerja terdiri dari nimfa
dan dewasa yang steril, memiliki warna yang pucat dan mengalami penebalan di
bagian kutikula, tanpa sayap dan biasanya tidak memiliki mata, memiliki
mandible yang relative kecil. Kasta pekerja memiliki warna tubuh warna putih,
panjang tubuhnya 4,5 – 5,0 mm dan lebar kepalanya 1,4 – 1,5 mm (Nandika, dkk, 2003).
Gambar 5 : Rayap Kasta Pekerja
b.
Perilaku Rayap
Rayap berperilaku kriptobiotik atau sifat selalu menyembunyikan diri,
mereka hidup di dalam tanah dan bila akan invasi mencari objek makanan juga
menerobos di bagian dalam, dan bila terpaksa harus berjalan di permukaan yang
terbuka mereka membentuk pipa pelindung dari bahan atau humus (Tarumingkeng, 2004).
Sifat trofalaksis merupakan
ciri khas diantara individu-individu dalam koloni rayap. Masing-masing individu
sering mengadakan hubungan dalam bentuk menjilat, mencium dan menggosokkan
tubuhnya satu dengan yang lainnya. Sifat ini diinterpretasikan sebagai cara
untuk memperoleh protozoa flagellata bagi individu yang baru saja berganti
kulit, karena pada saat berganti
kulit usus juga tanggap, sehingga protozoa simbion
yang diperlukan untuk mencerna selulosa ikut keluar dan diperlukan reinfeksi
dengan jalan trofalaksis. Sifat ini juga diperlukan agar terdapat pertukaran
feromon diantara para individu (Tarumingkeng, 2004).
Setiap koloni rayap
mengembangkan karakteristik tersendiri berupa bau yang khas untuk membedakannya
dengan koloni yang lain. Rayap dapat menemukan sumber makanan karena mereka
mampu untuk menerima dan menafsirkan setiap rangsangan bau yang esensial bagi
kehidupannya. Bau yang dapat dideteksi rayap berhubungan dengan sifat kimiawi
feromonnya sendiri (Tarumingkeng, 2004)
Sifat kanibal terutama
menonjol pada keadaan yang sulit misalnya kekurangan air dan makanan, sehingga
hanya individu yang kuat saja yang dipertahankan, yaitu dengan membunuh serta
memakan rayap-rayap yang tidak produktif lagi baik
reproduktif, prajurit maupun kasta pekerja. Kanibalisme berfungsi untuk
mempertahankan prinsip efisiensi dan konservasi energi, dan berperan dalam
pengaturan homoestatika (keseimbangan kehidupan) koloni rayap (Tarumingkeng, 2004).
Rayap
pekerja menggerek dan memakan pangkal pelepah, jaringan batang, akar dan
pangkal akar, daun serta titik tumbuh tanaman kelapa sawit. Serangan berat
dapat menyebabkan kematian bibit maupun tanaman dewasa di lapangan. menyebabkan
kerusakan fisik secara langsung dan penurunan produksi pada tanaman kelapa
sawit, sehingga dampak kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat besar (Nandika, dkk, 2003)
C. Insektisida
hayati
Pengendalian hayati adalah pengendalian semua makhluk hidup
yang dianggap sebagai OPT dengan cara memanfaatkan musuh alami,
memanipulasi inang, lingkungan atau musuh alami itu sendiri. Pengendalian
hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian
hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien
dengan sedikit mungkin mendatangkan akibat samping negatif bagi lingkungan
hidup. Sedangkan berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan
dan menjaga upaya agar tidak merosot atau menjaga agar suatu upaya terus
berlangsung. Pengendalian hayati sebagai komponen pengendalian hama terpadu
sejalan dengan definisi sebagai cara pendekatan atau cara berfikir tentang
pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi
ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan
berkelanjutan. Dengan pengertian ini, konsepsi PHT sejalan dengan paradigma
pembangunan agribisnis (Suniarsyih, 2009).
Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya
beresiko kecil, tidak mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak
membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan dan tidak memerlukan banyak input
luar. Pengendalian ini secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi yang
tidak mendukung bagi kehidupan organisme penyebab penyakit atau mengganggu
siklus hidupnya (Suwahyono, U., 2009).
a.
Jamur Metarhizium anisopliae
M. anisopliae
yang sebelumnya dikenal sebagai Anisopliae
entomophora, yang
hidup di tanah. Penggunaan M. anisopliae
sebagai agen mikroba terhadap serangga (Suwahyono,
U., 2009).
M. anisopliae
adalah anggota dari kelas Hyphomycetes dengan kategori jamur muscaridine hijau
karena warna hijau muncul dari koloni. Jamur ini telah dilaporkan telah
menginfeksi sekitar 200 jenis serangga dan arthropoda lainnya. Meskipun M.
anisopliae tidak menular atau beracun untuk
mamalia, namun jika menghirup spora dari jamur tersebut dapat menyebabkan
reaksi alergi pada individu yang sensitif
(Suwahyono,
U., 2009).
Penggunaan M.
anisopliae sebagai agen hayati merupakan jenis
pestisida microbial (microbia pestiside), yaitu jenis produk biopestisida yang
mengandung mikroorganisme (bakteri, fungi, virus, dan protozoa) sebagai bahan
aktif dan jamur yang digunakan sebagai pengendalian serangga pada
tanaman disebut bioinsektisida (Suwahyono,
U., 2009).
Kelebihan dari penggunaan
bioinsektisida dari fungi. Secara umum M. anisopliae
masuk ke tubuh serangga melalui spirakel dan pori-pori atau kutikula dari tubuh
serangga. Setelah masuk ke dalam tubuh serangga, jamur berkembang biak menghasilkan pemanjangan hifa yang
akhirnya berkembang biak dan mengkonsumsi organ internal serangga. Pertumbuhan
hifa berlanjut sampai serangga tersebut ditumbuhi dengan miselia. Selanjutnya
jamur akan membuat
serangga tampak seperti diselimuti bulu halus berwarna putih (Suwahyono, U., 2009).
M. anisopliae
dapat melepaskan spora (konidia) pada kondisi kelembaban rendah (<50%).
Selain itu, jamur tersebut memperoleh nutrisi dari lemak pada kutikula
serangga. Jamur ini juga dapat menghasilkan metabolit sekunder seperti
destruxin, yang mempunyai sifat insektisida pada serangga (Suwahyono, U., 2009). Zat
metabolit sekunder dari fungi inilah sebagai pengendalian serangga. Penggunaan entomopatogen
dari jamur adalah sebagai biopestisida dalam bidang pertanian.
b.
Jamur Beauveria
bassiana
B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena
miselium dan konidium (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Soetopo dan
Indrayani, 2007).
Hifa atau spora B. bassiana ke
dalam kutikula melalui kulit luar serangga.
Pertumbuhan hifa akan mengeluarkan enzim seperti protease, lipolitik, amilase, dan kitinase.
Enzim-enzim tersebut mampu menghidrolisis
kompleks protein di dalam integumen yang
menyerang dan menghancurkan kutikula, sehingga hifa
tersebut mampu menembus dan masuk serta berkembang di dalam tubuh serangga. Mekanisme infeksi
secara mekanik adalah infeksi melalui
tekanan yang disebabkan oleh konidium B. bassiana yang tumbuh.
Secara mekanik infeksi jamur B. bassiana berawal dari penetrasi miselium
pada kutikula lalu berkecambah dan membentuk apresorium,
kemudian menyerang epidermis dan hipodermis. Hifa kemudian menyerang jaringan dan hifa berkembang biak di dalam haemolymph
(http://link.springer.com/article#page-1)
Pada perkembangannya di dalam tubuh serangga B. bassiana akan
mengeluarkan racun yang disebut beauvericin yang
menyebabkan terjadinya paralisis pada anggota
tubuh serangga. Paralisis menyebabkan kehilangan koordinasi sistem gerak, sehingga gerakan serangga tidak teratur dan
lama-kelamaan melemah, kemudian berhenti sama sekali. setelah
lebih-kurang lima hari terjadi kelumpuhan total dan kematian. toksin
juga menyebabkan kerusakan jaringan, terutama pada saluran pencernaan, otot, sistem
syaraf, dan system pernafasan (Wahyudi, P.,
2008).
Jamur B. bassiana akan terus melanjutkan pertumbuhan
siklusnya dalam fase saprofitik. Setelah serangga inang mati, B.bassiana akan
mengeluarkan antibiotik, yaitu Oosporein yang menekan populasi
bakteri dalam perut serangga inang. Dengan demikian,
pada akhirnya seluruh tubuh serangga inang akan penuh oleh propagul B.
bassiana. Pada bagian lunak dari tubuh
serangga inang, jamur ini akan menembus keluar dan menampakkan pertumbuhan hifa di bagian luar tubuh serangga inang yang
biasa disebut “white bloom”. Pertumbuhan hifa eksternal akan menghasilkan konidia
yang bila telah masak akan disebarkan ke
lingkungan dan menginfeksi serangga sasaran baru (Wahyudi, P., 2008).
c. Nematoda Steinernema sp
Nematoda Steinernema
sp adalah agensia hayati yang dapat di manfaatkan sebagai salah satu alternatif
pengendalian hama. Teknik pengendalian hama ini berpotensi mengurangi
ketergantungan pada insektisida kimia, yaitu dengan memanfaatkannya sebagai bahan
biopestisida. Nematoda entomopatogen Steinernema
sp. termasuk famili Steinernematidae yang diketahui sangat potensial
mengendalikan serangga hama. (Hidayat, R., 2012.)
Cara menginfeksi nematoda masuk kedalam tubuh serangga
melalui lubang tubuh alami seperti spiracle, anus, atau termakan oleh larva
serangga. Setelah berada di dalam tubuh larva, nematoda langsung melepaskan
bakteri simbiosisnya kedalam usus larva serangga. Bakteri inilah yang membunuh
larva dengan cara mengeluarkan zat yang bersifat antibiotik atau racun terhadap
serangga. Dalam waktu 1 – 2 hari larva mati. Larva yang mati biasanya
ditunjukkan dengan gejala yang khas tergantung warna permukaan tubuh serangga
yang terserang nematoda ini menunjukkan gejala warna tubuh coklat kehitaman,
tubuh lembek dan sedikit mengeluarkan cairan. Setelah larva mati, nematoda
memperbanyak diri dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam tubuh larva
tersebut. Selanjutnya induk nematoda menghasilkan 2 - 3 generasi baru di dalam
tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis
maka nematoda melakukan migrasi dengan cara keluar dari tibuh larva dan mencari
inang lain (Hidayat, R. 2012)
D. Insektisida kimia
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa
inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang
dimaksud hama bagi petani sangat luas yaitu : bakteria dan virus, nematoda
(cacing yang merusak akar), serangga, siput, tikus, burung dan hewan lain yang
dianggap merugikan. Menurut peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973
(Djojosumarto, 2008)
a.
Fipronil
insektisida
berbahan aktif fipronil yang merupakan famili yang dari golongan kimia phenilpyrazol,
berbeda dengan insektisida di pasaran yang sebagian berasal dari keluarga
senyawa piretroid sintetik, organofosfat, neonikitinoid,
dan karbamat. Sistem kerja fipronil sangat unik, ia berfungsi kontak dan
sistemik, yaitu memblokir jalannya ion klorida yang membawa asam gama-amino-butirik (GABA) ke
sistem saraf pusat serangga. Pada tanaman padi, fipronil telah
terbukti efektif dalam mengendalikan hama wereng coklat, walang sangit, dan
penggerek batang. fipronil juga disarankan sebagai pengendali hama rayap tanah
pada kelapa sawit dan karet, aplikasinya cukup dengan disiramkan pada permukaan
tanah tempat rayap bersarang dengan dosis 2,5 – 5 ml/lt.
Disamping itu, beberapa keunggulan fipronil antara lain mempunyai fungsi sebagai zat pengatur
tumbuh. Pengendali serangga berspektrum
luas, fipronil dapat mengendalikan berbagai serangga pengganggu tanaman,
Penanganan yang relatif mudah aplikasi menggunakan dosis yang
relatif rendah, Dapat dicampur dengan pupuk, insektisida ataupun fungisida
lain. (http://saranaagri.wordpres.com. 2012)
b.
Klopirifos
Klorpirifos
adalah racun
kontak dan lambung yang dapat diemulsikan untuk mengendalikan rayap kayu kering,
serta rayap tanah. Dapat juga digunakan untuk mengawetkan kayu terutama
menjaga kayu dari serangan rayap setelah direndam dengan larutan Klorpirifos. Cara aplikasinya dengan cara larutkan dengan air
sesuai dengan dosis yang dianjurkan, lalu disemprotkan pada semua permukaan
kayu sampai basah. Racun akan menyerap kedalam pori kayu dan apabila rayap
memakannya, lalu membawanya kesarang untuk diolah menjadi makanan baik untuk
ratu dan anak-anaknya. Namun bisa juga siramkan kebagian tengah-tengah rumah
rayap. Biasanya
setelah tiga hari rayap akan mati beserta ratunya, kalaupun datang koloni baru,
koloni tersebut akan mati seperti pendahulunya karena daya racunnya dapat bertahan cukup lama. (http://www.indo-agrofog.com)
E.
Insektisida botanik
Pestisida botanik adalah pestisida yang
bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun,
batang atau buah. Bahan-bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain
bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil
pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan
dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida (Thamrin, dkk, 2005).
a.
Azadirachtin
Insektisida botani (Azadirachta indica A.
Jussieu) berasal dari biji mimba yang diekstrak dari biji tanaman mimba (Azadirachta
indica A. Jussieu). Senyawa toksik yang dikandung biji mimba diketahui
efektif mengendalikan lebih dari 200 spesies serangga
hama dan tidak menimbulkan resistensi (Ruskin, 1993)
Sasaran senyawa toksik tersebut terhadap
serangga adalah pada glandula protorak yang menstimulasi sintesa protein,
mencegah kehilangan air, meningkatkan atau mengurangi
aktivitas, dan pengaturan dalam metamorfosa, khususnya ekdisis dan diapause.
Senyawa toksiktersebut menganggu bekerjanya
sel neurosekretori sehingga tidak dapat berfungsi secara sempurna, yang berakibat terganggunya semua aktivitas
pertumbuhan serangga. Gangguan yang berat akan
menyebabkan mortalitas, sedang gangguan yang ringan menyebabkan pertumbuhan
terhambat.
Bagian tanaman mimba yang dapat digunakan sebagai pestisida botanik adalah daun dan bijinya. Ekstrak
daun dan biji mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin dan Salanin senyawa tersebut bersifat sebagai insektisida.
Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker
atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ekdison, yaitu suatu hormon yang
berfungsi dalam proses metamorfosa serangga. Serangga akan terganggu pada
proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur menjadi larva,
atau dari larva menjadi kepompong atau dari kepompong menjadi dewasa. Biasanya
kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian (Ruskin, 1993).
Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti-feedant) yang
mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun serangganya sendiri
belum mati. penggunaan pestisida botani dari mimba, seringkali hamanya
tidak mati seketika setelah disemprot, namun memerlukan beberapa hari
untuk mati, biasanya 4-5 hari. Namun demikian, hama yang telah disemprot
tersebut daya rusaknya sudah sangat menurun, karena dalam keadaan sakit
(Ruskin, 1993).
III.
METODE
PENELITIAN
A. 1.
Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian
dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit (rakyat), yang terletak di jl. Sepat, Des. Muara Delang (spc), Kec.
Tabir Selatan, Kab. Merangin, Jambi.
2. Penentuan lokasi
a. Memilih
lahan yang memiliki
banyak sarang aktif hama rayap, dan
tidak ada perlakuan pengedalian hama
rayap dari kebun setidaknya 3 bulan terakir.
B.
Alat dan Bahan
1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
Alat
yang digunkan penelitian adalah alat tulis, cangkul, dodos tanah, ember, gelas
ukur, meteran, sarung tangan.
2. Bahan
a. Jamur Metarhizium anisopliae, dengan dosis 200 g/1 rumah
rayap.
b.
Jamur Beauveria bassiana, dengan dosis 200 g/1 rumah rayap.
c. Nematoda Steinernema sp, nama dagang
coleonema, dengan dosisis 20 juta nematoda/1 rumah rayap.
d. Insektisida Fipronil, nama dagang REGENT 50 sc, dengan
dosisis 5 ml/l rumah rayap.
e.
Insektisida Klorpirifos, nama dagang TERMIBAN 400 EC, dengan
dosisis 12 ml/l rumah
rayap.
f. Azadirachtin, nama dagang NEEM OIL dengan dosisis 10
ml/l 1 rumah rayap.
C.
Metode
Penelian
Metode Penelitian menggunakan rancangan
percobaan, yang disusun dalam rancangan acak lengkap berblok (RCBD) terdiri
dari 6 (enam) perlakuan dan tiap –
tiap perlakuan di ulang 4
(empat)
kali sehingga terdapat 24
unit perlakuan. Tiap-tiap
unit perlakuan ditempatkan per sarangan
hama rayap.
Perlakuan yang
diberikan terhadap sarang rayap terdiri atas 6 jenis bahan.
1. P1 = jamur Metarhizium
anisopliae
2.
P2 =
Jamur Beauveria
bassiana
3. P3 =
Nematoda Steinernema sp
4. P4 =
Insektisida Fipronil
5.
P5 = Insektisida
Klorpirifos
6. P6 = Azadirachtin
Tabel
: Matriks perlakuan
PERLAKUAN
|
|
ULANGAN
|
|
|
|
U1
|
U2
|
U3
|
U4
|
P1
|
P1U1
|
P1U2
|
P1U3
|
P1U4
|
P2
|
P2U1
|
P2U2
|
P2U3
|
P2U4
|
P3
|
P3U1
|
P3U2
|
P3U3
|
P3U4
|
P4
|
P4U1
|
P4U2
|
P4U3
|
P4U4
|
P5
|
P5U1
|
P5U2
|
P5U3
|
P5U4
|
P6
|
P6U1
|
P6U2
|
P6U3
|
P6U4
|
Keterangan:
Matriks perlakuan yang dilaksanakan dalam penelitian.
Tahap awal menentukan tempat/blok yang
disinyalir banyak hama rayap. Tahap selanjutnya menentukan lokasi percobaan, dengan
menentukan blok perlakuan berdasarkan
kesergaman tinggi rumah rayap, katagori blok berdasarkan tinggi yaitu U1 tinngi
< 30 cm , U2 tinggi < 40 cm, U3 tinggi <50 cm, U4 tinggi > 60.
Setelah keseragaman blok tersedia, satu blok terdapat
6 perlakuan bahan, maka perblok dilakuakan pengacakan
perlakuan, sehingga masing-masing perlakuan mendapat kesempatan tempat rumah
rayap yang sama untuk aplikasi bahan.
Metode aplikasi bahan dengan
cara bagian rumah rayap dilubangi, besar pelubangan menyesuaikan genggaman
tangan, bertujan agar memudahkan aplikasi bahan. pelubangan pada rumah rayap 10
cm dari permukaan tanah ke atas, dan pelubangan sampai ke dalam bagian dari
rumah rayap, cara aplikasi bahan masukkan bahan kelubang sampai ketengah rumah
rayap, untuk aplikasi bahan yang bersifat cair langsung disiramkan ketengah
rumah rayap, dan bahan yang bersifat butir langsung ditaburkan didalam rumah
rayap.
D. Pengamatan
Pengamatan
dilakukan terhadap efektifitas berbagai
bahan yang di aplikasikan untuk
mengendalikan
hama rayap.
a. Pengamatan dilakukan pada hari ke 5
setelah aplikasi, dan pengamatan berikutnya 4 hari sekali.
b. Mengamati aktifitas makan hama rayap
sebelum dan setelah aplikasi bahan.
c. Mengamati hama rayap yang terinfeksi dan
yang tidak terinfeksi.
E.
Parameter Pengamatan
a. Pengukuran rumah rayap.
Pengukuran rumah rayap dapat dilakukan awal
penelitian hama rayap, cara pengukuran rumah rayap menggunakan meteran dengan
mengukur besar dan tinggi rumah rayap.
Tabel
: pengukuran rumah hama rayap
Perlakuan
|
UI
|
UII
|
UIII
|
UIV
|
||||
DRR
|
TRR
|
DRR
|
TRR
|
DRR
|
TRR
|
DRR
|
TRR
|
|
P1
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P6
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan :
UI-UIV :
Ulangan perlakuan
P1-P6 :
Perlakuan
DRR :
Diameter rumah rayap
TRR :
Tinggi rumah rayap
b. Pengamatan aktifitas makan hama rayap.
Pengamatan
aktifitas makan rayap dilakukan dengan cara dengan mengukur bagian umpan yang
telah dimakan oleh rayap, umpan rayap dapat menggunakan bahan yang mengandung
solulosa, seprti kayu, kertas, rempahan gregaji, pada penelitian ini
menggunakan koran, tahap pertama ukur koran sebelum di jadikan umpan, dan ukur
kembali setelah di jadikan umpan, pemberian umpan sebelum dan sesudah aplikasi
bahan, sehingga diketahui pebedaan aktifitas makan rayap sesudah dan sebelum
aplikasi bahan, pengamatan dilakukan 3 hari setelah aplikasi bahan, sebanyak 4
kali ulangan.
Tabel : pengamatan
aktifitas makan rayap
Perlakuan
|
Ulangan 1
|
|||||||
3h
|
6h
|
9h
|
11h
|
|||||
BAB
|
SAB
|
BAB
|
SAB
|
BAB
|
SAB
|
BAB
|
SAB
|
|
P1
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P6
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kterangan :
PI-P6 :
Perlakuan
3h-11h : Jenjang
pengamatan
BAB :
Belum aplikasi bahan
SAB :
setelah aplikasi bahan
c.
Pengamatan
hama rayap yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi.
Pengamatan
dilakukan dengan cara mengambil sempel hama rayap secara acak di bagian bawah,
tengah, dan atas didalam rumah rayap, masing-masing diambil 100 hama rayap,
setelah sempel masing-masing bagian tersedia, dilakuakan pengamatan hama rayap
yang terinfeksi atau sakit, mati dan sehat. Pengamatan dilakukan 5 hari setelah
aplikasi, dan pengamatan berikutnya pada hari ke 9, 13 dan hari ke 17 setelah
aplikasi.
Tabel : pengamatan hama
rayap terinfeksi dan yang tidak terinfeksi
Perlakuan
|
5h SA
|
9h SA
|
13h SA
|
17h SA
|
||||||||
SE
|
SA
|
MA
|
SE
|
SA
|
MA
|
SE
|
SA
|
MA
|
SE
|
SA
|
MA
|
|
P1
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P6
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan :
P1-P6 :
Perlakuan
5h SA
: 5 hari setelah aplikasi
9h SA :
9 hari setelah aplikasi
13h SA
: 13 hari setelah aplikasi
17h SA :
17 hari setelah aplikasi
SE :
Sehat
SA :
Sakit
MA :
Mati
d.
Pengamatan
kondisi ratu/kasta reproduktif
Pengamatan ratu rayap dilakukan pada akhir
penelitian guna melihat kodisi ratu rayap, apakah masih sehat, sakit atau mati,
pengamatan ratu rayap dapat dilakukan dengan membongkar rumah rayap, sehinnga
dapat melakukan pengamatan kondisi ratu atau kasta reproduktif rayap.
Tabel
: pengamatan kondisi ratu rayap
Perlakuan
|
UI
|
UII
|
UIII
|
UIV
|
||||||||
SE
|
SA
|
MA
|
SE
|
SA
|
MA
|
SE
|
SA
|
MA
|
SE
|
SA
|
MA
|
|
P1
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P6
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan :
PI-P6 :
Perlakuan
UI-UIV :
Ulangan
SE :
Sehat
SA :
Sakit
MA :
Mati
F. Analisis Data
Jumlah rayap yang
terinfeksi dihitung 4 hari
sekali/perlakuan, lalu data yang terkumpul pada masing-masing perlakuan
dijumlahkan dan dicari rata-ratanya. Hasil rata-rata yang sudah didapat dari
setiap aspek pengamatan kemudian di lakukan analisis varian (Annova) dan dilanjutkan uji Duncan pada jenjang α 5%.